Selamat Datang di Blog saya yang sederhana,Terima Kasih Atas Kunjungannya

Senin, 21 Oktober 2013

PERKAWINAN CAMPURAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL



A.  Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan Campuran di Indonesia

Dalam beberapa hal, aspek perkawiinan campuran telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang untuk selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan. Menurut Ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan, pengertian Perkawinan Campuran adalah “perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Dari pengertian tersebut, dapat muncul satu pertanyaan sebagai berikut:
Apakah perkawinan lintas agama, baik yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda kewarganegaraan atau tidak, dapat dikualifikasikan sebagai perkawinan campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974?” Berdasarkan Ketentuan Pasal 57 tadi, dapat diketahui bahwa sesungguhnya perkawinan campuran yang dimaksud menurut UU Perkawinan adalah perkawinan yang berbeda kewarga-negaraan saja, sedangkan perkawinan lintas agama tidaklah diatur sehingga dengan demikian perkawinan lintas agama tidak terkandung di dalam muatan materi yang terdapat di dalam UU Perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan lintas agama bukan menjadi yurisdiksi dari hukum nasional tentang perkawinan sebagaimana dimaksud di dalam Ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan, khususnya yang menyangkut tentang perkawinan campuran.
Namun demikian, jika ditilik secara lebih seksama lagi, UU Perkawinan tidak menutup sama sekali pengaturan yang terkait dengan masalah perkawinan lintas. Hal ini dapat dilihat dari Ketentuan Penutup Pasal 66 UU Perkawinan yang menyebut sebagai berikut:
     Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Dari Ketentuan Penutup UU Perkawinan tadi, penting kiranya memperhatikan hal-hal yang diatur di dalam peraturan lainnya, termasuk pula peraturan hukum kolonial mengingat di dalam UU Perkawinan, masalah perkawinan lintas agama tidaklah diatur.
Di dalam peraturan lainnya, perkawinan beda agama ternyata diatur di dalam Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) tentang Peraturan Perkawinan Campuran. Namun demikian, pengaturan yang terdapat di dalam peraturan kolonial tersebut hanya sedikit sekali menyinggung tentang perkawinan lintas agama.
Salah satu bagian dari Ketentuan Pasal 7 Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) yang mengatur tentang perkawinan lintas agama hanya menyebutkan sebagai berikut:
 “Perbedaan agama, bangsa atau keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan”

Selanjutnya pengaturan lain mengenai prosedur dan tata cara perkawinan lintas agama tersebut tidaklah diatur lebih lanjut sehingga kiranya dapat diketahui bahwa perkawinan lintas agama menurut Staatsblad1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) tentang Peraturan Perkawinan Campuran adalah tidak dilarang namun tidak pula diberikan pengaturan lebih lanjut yang berguna sebagai pedoman, terutama menyangkut prosedur dan tata cara bagi pihak-pihak yang melaksanakannya.

B.   Prosedur Tata Cara  Perkawinan Campuran di Indonesia

Terkait prosedur dan tata cara perkawinan campuran di Indonesia, terdapat beberapa model asumsi sebagai berikut:
1.  Jika perkawinan campuran lintas agama dilangsungkan di Indonesia
Sebelum kita mengetahui bagaimana prosedur dan tata cara perkawinan campuran lintas agama di Indonesia, terlebih dahulu kita harus mengetahui bahwa sesungguhnya perkawinan campuran lintas agama belumlah diatur menurut hukum nasional atau hukum perkawinan di Indonesia. Dengan demikian secara umum pada prinsipnya perkawinan campuran lintas agama mengandung konsekuensi yuridis dimana perkawinan campuran tersebut tidaklah mendapatkan pengakuan menurut hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu, perkawinan campuran lintas agama secara otomatis tidak pula mendapatkan perlindungan hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak yang menjalaninya.
2. Jika perkawinan campuran beda agama dilangsungkan di luar negeri atau di luar Indonesia
Sepanjang hukum di negara asing tadi dapat mengakui perkawinan campuran lintas agama, maka perkawinan tersebut adalah sah apabila disertai dengan dokumen berupa akta nikah dari negara asing tempat dilangsungkannya, yang mana kemudiian dokumen akta nikah itu tadi dicatatkan di Kantor Perwakilan (Konsuler) RI di negara tempat dilangsungkannya perkawinan untuk kemudian melaporkannya lagi ke Instansi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Indonesia tempat dimana pasangan tersebut tinggal. Pengaturan yang berkaitan dengan hal tersebut dapat ditemui di dalam Ketentuan Pasal 70 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang menyebutkan sebagai berikut:
(1) Pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan       Republik Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di negara setempat.
(2) Perkawinan Warga Negara Indonesia yang telah dicatatkan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi            syarat berupa fotokopi:
      a. bukti pencatatan perkawinan/akta perkawinan dari negara setempat;
      b. Paspor Republik Indonesia; dan/atau
      c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.
(3) Pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan tata
      cara :
      a. Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Pelaporan Perkawinan dengan                                         menyerahkan persyaratan kepada Pejabat Konsuler.
      b. Pejabat Konsuler mencatat pelaporan perkawinan Warga Negara Indonesia dalam                                  Daftar Perkawinan Warga Negara Indonesia dan memberikan surat bukti pencatatan                          perkawinan dari negara setempat.

Selanjutnya Ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa:
      “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka”.

      Apabila pasangan tersebut terlambat mencatatkannya, maka dikenakan sanksi berupa denda administratif yang besarannya diatur di dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana diatur menurut Ketentuan Pasal 105 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
     Jadi, secara singkat prosedur tata cara perkawinan beda agama di luar negeri yaitu mencatatkannya di Kantor Perwakilan (Konsuler) RI di negara tempat perkawinan dilangsungkan, kemudian mendaftarkannya paling lambat 1 (satu) tahun setelah pasangan tersebut kembali ke wilayah Indonesia.

Ad. 3. Jika perkawinan campuran lintas agama dilangsungkan di Indonesia, namun mencatatkannya sebagai pasangan yang menikah berdasarkan salah satu hukum agama saja.
Alternatif terakhir ini sepertinya sering dianggap sebagai solusi bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan lintas agama. Sebagian besar dari mereka yang menilai model perkawinan lintas agama ini sebagai solusi, memandang bahwa agama pada hakekatnya lebih menekankan pada hubungan spiritual yang bersifat vertikal, bukan horizontal. Sehingga dengan demikian, masalah hukum administrasi negara dipandang bukan merupakan sesuatu yang sakral sehingga pemenuhannya sendiri hanyal bersifat formalistis demi mendapatkan perlindungan terhadap akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban bagi pasangan yang menjalani perkawinannya.
Dalam hal ini penulis memandang bahwa cara ini merupakan suatu penyelundupan hukum yang memang belum pula diatur apakah cara seperti ini merupakan cara-cara yang ilegal karena belum ada sanksi yang dapat dikenakan bagi mereka yang melaksanakan perkawinan lintas agama dengan model seperti ini sehingganya dapat disimpulkan bahwa perkawinan lintas agama model ini masih dimungkinkan meskipun penulis kurang begitu menyetujuinya.
Adapun prosedur dan tata cara perkawinan campuran lintas agama seperti ini adalah sama dengan tata cara perkawinan yang lazim menurut salah satu agama yang telah ditentukan oleh pasangan yang hendak melangsungkan perkawinannya. Sedangkan status hukum yang nantinya terkait dengan penyelesaian hukum seperti waris, harta gono gini, perceraian, hak asuh anak, dan sebagainya adalah bergantung pada pilihan perkawinan menurut hukum agama apa yang mereka pilih. Contohnya jika dulu perkawinan tercatat menurut Islam maka status hukum yang nantinya terkait dengan penyelesaian hukumnya adalah diatur menurut hukum Islam. Jika dulu perkawinan tercatat menurut Kristen maka status hukum yang nantinya terkait dengan penyelesaian hukumnya adalah diatur menurut hukum perdata eropa/ barat.

C.   Beberapa Permasalahan Hukum Seputar Perkawinan Campuran Lintas Agama

      Bagi para pelaku perkawinan campuran lintas agama, beberapa permasalahan yang dapat timbul antara lain sebagai berikut:

1. Masalah Keabsahan Perkawinan
      Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan lintas agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan lintas agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

2.  Masalah Pencatatan perkawinan
     Apabila perkawinan lintas agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan lintas agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan lintas agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi Ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UU Perkawinan maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan (Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Perkawinan).

3. Status Kewarganegaraan
     Menurut Ketentuan Pasal 58 UU Perkawinan, bagi orang-orang yang berlainan kewarga-negaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
     Hal itu dapat dilihat dari Ketentuan Pasal 26 ayat (1) s.d ayat (4) UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang selanjutnya disingkat dengan UU Kewarganegaraan sebagai berikut:
(1)  Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya,     kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan          tersebut.
(2)  Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing             kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya,         kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan          tersebut.
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada     ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat            pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang        wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan         tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
(4)  Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan            sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2)          setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.

     Jadi, jika kita melihat Ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) UU Kewarganegaraan, dapat diketahui bahwa apabila hukum negara asal si suami memberikan kewarga-negaraan kepada pasangannya akibat perkawinan campuran, maka istri yang WNI dapat kehilangan kewarga-negaraan Indonesia, kecuali jika dia mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi WNI.
Selanjutnya perihal status kewarganegaraan anak, sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan yang baru, UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (yang lama)telah menggariskan bahwa asas kewarganegaraan Indonesia adalah Asas Ius Sanguinus Patriarkhal dan Asas Tunggal. Namun setelah berlakunya UU Kewarganegaraan yang baru, yakni UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI,  terdapat suatu kemajuan dalam rangka perlindungan terhadap hak anak terkait status kewarganegaraan karena di UU Kewarganegaraan yang baru memperbolehkan seorang anak untuk memiliki kewarganegaraan ganda sesuai Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas (vide Ketentuan Pasal 4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 jo. Pasal 6 ayat (1) s.d ayat (3) UU Kewarganegaraan.

4. Masalah Kepemilikan Properti
Menurut hukum, perempuan WNI yang terikat perkawinan sah dengan laki-laki WNA, memperoleh hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha, baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut. Hal tersebut berdasarkan Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disingkat dengan UUPA yaitu:
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.

Pengaturan tersebut berlaku ketika status kewarga-negaraan dalam perkawinan campuran masih diatur menurut Ketentuan UU Kewarganegaraan yang lama. Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, terjadi sedikit perubahan ketentuan menyangkut harta bawaaan dimana dalam UU Kewarganegaraan yang lama mengharuskan  pihak istri yang berstatus WNI dalam perkawinan campuran untuk melepaskan hak milik yang telah dimiliki sebelum perkawinan campuran dilangsungkan  sebagai aikbat dari konsekuensi yuridis berupa kehilangan kewarganegaraan. Namun demikian setelah berlakunya UU Kewarganegaraan yang baru, Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), maupun Hak Strata Title atas harta bawaan istri yang berstatus WNI tetaplah diakui sebagai harta yang berada di bwah penguasaan masing-masing. Hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan ketentuan yang menyangkut status kewarganegaraan antara UU Kewarga-negaraan yang lama dengan UU Kewarganegaraan yang baru.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU Kewarga-negaraan menjelaskan bahwa pria atau wanita Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria atau wanita Warga Negara Asing (WNA) akan kehilangan Kewarga-negaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suami atau isterinya, mengikuti kewarga-negaraan suami atau isteri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika pria atau wanita yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tersebut ingin tetap menjadi berkewarga-negaraan Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan ke pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal pria atau wanita tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengabaikan kewarga-negaraan ganda (Ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU Kewarganegaraan). Surat pernyataan tersebut dapat diajukan setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan campuran dilangsungkan (Ketentuan Pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan).
Dalam hal perkawinan campuran demikian, WNI pelaku perkawinan campuran tidak dapat memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena dalam Ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta di sini, dan pasangan yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha.
Mengenai Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA, Retno S. Darussalam, S.H. dalam artikel berjudul Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA) menjelaskan:
Ketentuan tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin tersebut dibuat secara notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam hal akta perjanjian kawin tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan percampuran harta.

5. Masalah Apabila Terjadi Perceraian dalam Perkawinan Campuran Lintas Agama


      5.1.  Masalah Kompetensi Pengadilan Yang Memeriksa dan Memutus         Perkara Perceraian Perkawinan Campuran Lintas Agama
Masalah kompetensi pengadilan bilamana pelaku hendak bercerai juga merupakan masalah penting mengingat Ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa,”Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dengan demikian penting kiranya untuk mengetahui dapat tidaknya perceraian diajukan ke muka pengadilan atau dengan kata lain mengetahui apakah perkara cerai yang diajukan oleh pelaku perkawinan campuran tadi menjadi yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan atau tidak. Hal ini berguna agar permohonan atau gugatan cerai yang diajukan tidak dinyatakan Niet Onkelijk Verklard (NO) atau tidak dapat diterima. Oleh karena itu, kompetensi pengadilan ini menjadi terkait dengan masalah pencatatan perkawinan sebagaimana telah diijelaskan sebelumnya.

5.2. Masalah Harta Bersama maupun Gono-Gini
Para pihak pelaku perkawinan campuran yang memperoleh properti di Indonesia, berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, “Strata Title”, karena pewarisan, peralihan hak melalui proses jual beli, atau percampuran harta karena perkawinan, WAJIB untuk melepaskan hak-hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut. Jika sesudah jangka waktu tersebut lewat dan hak-hak tersebut tidak dilepaskan, maka hak-hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Hal ini diatur dalam Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA. Tapi, WNI pelaku perkawinan campuran dibolehkan memiliki Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Strata Title dengan catatan bahwa para pihak dalam perkawinan campuran tersebut membuat perjanjian perkawinan sebelum menikah. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak tersebut adalah menjadi milik masing-masing.

5.3   Masalah Hak Asuh Anak
Semenjak lahirnya UU Kewarganegaraan di tahun 2006, anak-anak yang lahir setelah Agustus 2006, otomatis mendapatkan kewarga-negaraan ganda. Setelah usia 18 dengan masa tenggang hingga tiga tahun, barulah si anak diharuskan memilh kewarganegaraan yang mana yang akan dipilihnya. Jika terjadi perceraian maka ibu dapat mengajukan permohonan kewarga-negaraan anak dengan berdasarkan pada Ketentuan Pasal 29 ayat (1) s.d ayat (3) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang selanjutnya disingkat dengan UU Perlindungan Anak yang pada prinsipnya menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
Adapun Ketentuan Pasal 29 UU Perlindungan Anak menyebutkan sebagai berikut:
(1)     Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara       asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh      kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan          perundang-undangan yang berlaku.
(2)     Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),      anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalama       pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.
(3)     Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak       belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik             Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah             berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak    tersebut.

Apabila ternyata terjadi perceraian dalam perkawinan campuran, maka anak memiliki hak untuk memilih pengasuhan orangtua. Demi hukumnya maka anak yang masih di bawah umur otomatis akan mengikuti ibu dan mendapat kewarganegaraan Indonesia. Namun jika anak lahir sebelum terbitnya UU Kewarganegaraan, maka anak tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia. Ada baiknya pada saat mengambil keputusan bercerai, pasangan yang akan bercerai membuat kesepakatan baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak. Sehingga ke depannya tidak memunculkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya.

5.4   Masalah Waris
Seorang WNI yang menikah secara sah dengan WNA, dimana WNI tersebut memperoleh asset berupa tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di atas tanah HGB, baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut (Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA). Pelepasan hak tersebut adalah dengan cara menjual atau menghibahkan hak-hak atas tanah tersebut.
Jika jangka waktu tersebut lewat/dilepaskan, maka hak-hak tersebut hapus karena hukum dan tanah-tanah tersebut jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung (Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA). Ketentuan tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin tersebut dibuat secara notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan). Apabila akta perjanjian kawin tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan percampuran harta. Artikel pada hukum online juga menyebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan menggariskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kecuali, kedua belah pihak membuat perjanjian perkawinan untuk menghindari percampuran harta secara hukum.

Sumber:
-       UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
-       UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (Lama)
-       UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
-       UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
-       UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-       Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
-       Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) tentang Peraturan Perkawinan Campuran
-       www.hukumonline.com
-       www.irmadevita.com

Selasa, 24 September 2013

Kreditor yang didahulukan dalam Kepailitan menurut KUHPerdata (Pasal 1139)



Kedudukan Penjual Barang Benda Bergerak yang Belum Dibayar Lunas oleh Debitur Dalam Tata Urutan Kreditur dalam Proses Kepailitan


A.   Kasus posisi
Dalam proses kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) dikenal tiga tingkatan kreditur yaitu kreditur separatis (pemegang hak jaminan), kreditur preferen (kreditur yang diistimewakan, baik karena sifat piutang ataupun karena undang-undang), dan kreditur konkuren. Kemudian timbul permasalahan bagaimana kedudukan penjual barang bergerak yang menjual barangnya kepada debitur, ketika debitur dinyatakan pailit, pembayaran terhadap barang tersebut belum lunas, contohnya adalah supplier-supplier bahan baku, peralatan, dll, apakah dikategorikan kreditur konkuren atau kreditur preferen?

B.   Dokumen Hukum
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
2.    Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

C.   Kajian Hukum
Kreditor yang diistimewakan (preferen) yang dimaksud dalam undang-undang Kepailitan dan PKPU adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1139 dan 1149 BW (penjelasan pasal 60 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).  Dalam pasal 1139 BW disebutkan:
Piutang-piutang yang didahulukan atas barang-barang tertentu, ialah:
1.    biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan. Biaya ini dibayar dengan hasil penjualan barang tersebut, lebih dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak didahulukan, bahkan lebih dahulu daripada gadai hipotek;
2.    uang sewa barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewaserta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian sewa penyewa itu ;
3.   harga pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;
4.    biaya untuk menyelamatkan suatu barang;
5.    biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus dibayar kepada pekerjanya;
6.    apa yang diserahkan kepada seorang tamu rumah penginapan oleh pengusaha rumah penginapan sebagai pengusaha rumah penginapan;
7.    upah pengangkutan dan biaya tambahan lain;
8.    apa yang masih harus dibayar kepada seorang tukang batu, tukang kayu dan tukang lain karena pembangunan, penambahan dan perbaikan barangbarang tak bergerak, asalkan piutang itu tidak lebih lama dari tiga tahun, dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap ada pada si debitur;
9.    penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum karena kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam pasal 1139 ayat 3 BW jelas disebutkan bahwa pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar adalah termasuk piutang yang diistimewakan artinya termasuk golongan kreditur separatis. Namun ketentuan dalam pasal tersebut tidak berdiri sendiri, namun diatur lebih lanjut dalam pasal 1144 BW, sebagai berikut:

“Penjual barang bergerak yang belum mendapat pelunasan dapat melaksanakan hak didahulukan atas uang pembelian barang itu, bila barang-barang itu masih berada di tangan debitur, tanpa memperhatikan apakah ia telah menjual barang-barang itu dengan tunai atau tanpa penentuan waktu.”

Selanjutnya diatur juga dalam pasal 1145, sebagai berikut:

”Bila penjualan barang itu dilakukan dengan tunai, maka penjual mempunyai wewenang untuk menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang itu masih berada ditangan pembeli, dan menghalangi dijualnya barang itu lebih lanjut, asalkan penuntutan kembalinya barang itu dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah penyerahannya.”

Selanjutnya dalam pasal 1146a disebutkan:

“Hak penjual hapus, bila barang-barang itu, setelah berada dalam penguasaan pembeli semula atau kekuasaanya, dibeli dengan itikad baik oleh pihak ketiga dan telah diserahkan kepadanya. Akan tetapi bila uang pembelian itu belum dibayar oleh pihak ketiga itu, penjual semula dapat menuntut uang itu sampai memenuhi jumlah tagihannya, asalkan tagihan itu dilakukan dalam waktu enam puluh hari setelah penyerahan semula”

Dengan demikian dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan penjual benda bergerak yang belum mendapat pelunasan oleh debitur tidak serta merta menjadi kreditur yang diistimewakan (separatis), namun menimbang beberapa hal, yaitu:
1.    Apakah barang-barang tersebut masih berada di tangan debitur?
2.    Apakah penyerahan barang tersebut sudah lewat 30 hari?
3.    Apakah barang tersebut sudah dijual kepada pihak ketiga?
4.    Apakah barang tersebut sudah dibeli pihak ketiga namun belum dilakukan pembayaran dan telah lewat 60 hari sejak penyerahan semula?
Dari pertimbangan-pertimbangan di atas dapat ditarik kesimpulan:
1.    Hak istimewa yang diberikan bagi penjual adalah hak istimewa untuk memperoleh pelunasan atau pembayaran terlebih dahulu atas penjualan benda bergerak yang telah dibeli debitor
2.    Hak istimewa timbul dengan syarat:
a.    Barang-barang tersebut masih berada di tangan debitur
b.    Penjual bahkan dapat menuntut kembali barang yang dijualnya asal tidak lebih dari 30 hari sejak penyerahannya
c.    Barang-barang tersebut belum dijual lagi kepada pihak ketiga yang beritikad baik.
d.    Barang tersebut sudah dibeli pihak ketiga, namun belum dibayar oleh pihak ketiga tersebut, dan tagihan tersebut diajukan kepada pembeli asal (debitur) sebelum waktu 60 hari sejak penyerahan semula.

D.   Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Supllier-supplier bahan baku dapat dikategorikan kreditur preferen sepanjang:
a.    bahan baku yang menjadi dasar tagihan tersebut masih belum digunakan (masih berada di tangan debitur)
b.    bahan baku yang menjadi dasar tagihan tidak dijual kepada pihak ketiga
2.    Supplier-supplier peralatan/perkakas dapat dikategorikan kreditur preferen sepanjang peralatan yang dijual kepada debitur yang menjadi dasar tagihan masih berada di tangan debitur atau belum dijual kepada pihak ketiga.